Sabtu, 02 Juni 2012

katanya


Dunia malam

Yup, sesekali cerita tentang dugem di Bangkok ya.. Ini pertama kalinya saya bisa keluar residence agak lama setelah 3 minggu, seringnya sih hanya pergi ke mall dekat kampus.
Karena kebetulan ada training 10 hari di lokasi yang masih sekomplek yang melibatkan rekan sekantor, saya merasa lega. Akhirnya ada teman seumuran. Jadwal para trainee itu melingkupi jalan-jalan sore untuk dinner di mall sekitar kota dan kami para penghuni residence diijinkan untuk nebeng. Lumayan tidak perlu berdiri naik bus atau mengeluarkan ekstra untuk taksi. Deuuh.. gaya student banget ya?
Kebetulan lagi ada seorang partisipan Thai, pi Tiny yang bersedia menjadi guide sepanjang perjalanan. Jadilah ia membawa 10 orang rekannya berkeliling kota. Perumpamaannya persis seperti sedang mengangon bebek.. Bebek berumur tepatnya.
Van yang kami tumpangi hanya mengantar sampai stasiun BTS Mo Chit, tidak jauh dari Chatuchak. Pi Tiny mengajarkan kami cara menukar uang, membeli karcis, melewati pintu masuk, dan lain-lain bagi semua yang belum pernah naik kereta cakep. Tapi rasanya semua pernah naik meski di negara-negara berbeda. Hehe.. nasib, kasian ya yang ga punya BTS?
Tujuan kali ini adalah berhenti di Siam Paragon, cari dinner, pergi ke Baiyoke, dan yang terakhir ke pasar malam Chatuchak.
Benar ke situ saja?
Drama belum dimulai.
Sesungguhnya pergi berkelompok dengan karakter berbeda-beda butuh kesabaran dan toleransi luar biasa. Tiba di Siam Paragon jam 7 malam, kami rumpun Melayu memutuskan untuk shalat Maghrib di dekat lift sementara yang lain menunggu di luar. Ini memakan waktu hampir 20 menit. Dilanjutkan dengan menyebrang jembatan dan pi Tiny menunjukkan spot yang sering dipakai turis untuk mengambil gambar di MBK.

Sementara partisipan lain jeprat-jepret sana sini tanpa mengenal waktu, kami menunggu hampir 10 menit padahal sudah waktunya makan malam. Akhirnya diputuskan, no more photos!
Kami menemukan beberapa kedai makanan halal di food court lantai 5  Siam Paragon. Pilihan kali ini adalah Arabic cuisine berupa fried rice with shrimp seharga 12o baht. Setelah berkeliling, ternyata ada juga kedai makanan Indonesia yang diberi nama Jimbaran, Bali. Harga menu dimulai dari 120 baht, sementara untuk minuman rata-rata 80 baht.
Setelah selesai makan malam, ternyata kami kehilangan dua partisipan dari Timur Tengah. Jujur saya khawatir pada aki-aki itu, tapi mereka sendiri yang memilih memisahkan diri.
Episode mencari-cari satu sama lain dimulai. Ketika partisipan A pergi ke toilet dan tidak kembali dalam 5-10 menit, partisipan B menyusul. Tak lama partisipan A kembali, berganti dengan partisipan B yang tidak ada. Selisipan. Belum lagi dengan seorang pasrtisipan yang kerap menghilang dengan alasan yang tidak dimengerti. Kejadian berulang kali ini membuat saya selaku oknum yang menumpang dalam grup mereka memasang muka manyun. Belum lagi ditambah dengan acara sok tawar menawar padahal akhirnya tidak membeli. Jujur, saat pergi berkelompok ini saya paling tidak suka dengan jam karet dan tidak bertoleransi. Apalagi jika masih ada beberapa tempat yang harus dikunjungi dan sekarang sudah hampir jam 9 malam.
Dan benar saja, kami masih harus berkali-kali menaiki tangga untuk menyebrang jalan. Dan lebih takjub lagi, ketika saya mengetahui bahwa tujuan selanjutnya sesuai dengan request adalah Patpong. Mau ngapain?

Patpong adalah kawasan wisata malam daerah Silom yang ramai dikunjungi turis asing. BTS terdekatnya di Sala Daeng. Sebenarnya hanya lokasi di pinggir jalan yang dipenuhi pedagang kaki lima. Mereka berjualan pakaian, suvenir, dengan tambahan CD dewasa dan sex toys. Benar, semuanya digelar begitu saja. Tetapi semakin lama menyusuri jalanan, tiba-tiba pi Tiny memasuki gang yang agak gelap dan dipenuhi para calo yang menawarkan sesuatu. Agak ragu saya mengikuti mereka, tapi mau tetap tinggal di ujung jalanpun rasanya menakutkan. Di gang tersebut ternyata banyak para turis yang duduk-duduk sambil minum-minum, persis seperti di daerah Kuta. Saya tahu saya cuma manusia penuh dosa, tapi saat itu malu sekali ketika saya mengikuti mereka. Semua mata memandangi kami. Terlebih ketika ada yang bertanya, “what are you looking for, ma’am?” Nah lho? Ketika mencapai jalan buntu -mungkin hanya sekitar 50 m dari jalan utama- dan berbalik kembali, saya langsung ngibrit. Teman-teman tadi menertawakan.
Lanjut di gang no 2, saya memutuskan untuk menunggu saja. Kali ini insting kepo saya sedikit jalan dan langsung mencuri dengar. Rupanya para calo tadi menawarkan tiket masuk pertunjukan dewasa seharga 300 baht untuk sex show selama 30 menit. Konon yang terkenal adalah Pingpong show dan berbagai show lain, saya tidak hapal. Tapi saya kurang jelas juga apakah mereka wajib membeli minuman di pub, dengan harga minimal 100 baht atau tidak. Menurut teman-teman yang ikut melintasi tiap pub tadi, ketika tirainya sedikit terbuka terlihat pemandangan di dalamnya yang memuat para wanita cantik berbikini. Grup kami hanya memutuskan untuk sekedar jalan-jalan dan ingin tahu ada apa di sana.
Waktu sudah menunjukkan jam 22 malam,  kami menghapus kunjungan ke Baiyoke Tower karena sudah tutup dan melanjutkan ke pasar malam Chatuchak. Tadinya kami akan menggunakan 2 taksi, tetapi karena sebagian besar belum pernah menaiki tuktuk akhirnya mereka memilih naik tuktuk seharga 200 baht dari Silom ke Chatuchak. Tim dibagi dua, tim perempuan dan lelaki dalam tuktuk yang berbeda. Karena bangku satu tuktuk hanya untuk 3 orang, saya duduk di bawah, persis di belakang supir.
Lima menit di atas tuktuk, kami mengeluarkan uang untuk patungan. Pada saat itulah Kak Fiza dari Malaysia tiba-tiba berteriak dan tarik-tarikan dengan jambret yang mengendarai motor. Jujur, kami semua kaget setengah mati. Tidak menyangka. Sepertinya kami memang sudah dikuntit dari semenjak awal. Saya juga lupa mengingatkan kak Fiza supaya tidak menyimpan tas di lengan kanan yang pas dengan sisi jalan. Teman saya yang turut membantu tarik-menarik masih shock, sementara karena posisi saya membelakangi, saya malah tidak tahu apa-apa. Padahal saat itu saya lengah dan sedang tidak memegang tas.
Sedikit melegakan, karena untungnya dompet kak Fiza ada di tangan karena ia tadinya sedang merapikan uang dalam dompet. Sementara yang diambil adalah tas ransel Hush Puppies berikut kamera touch screen edisi lama berserta sajadah dan mukena. Mungkin para penjambret itu menyesal karena hanya mendapat sedikit barang. Kak Fiza berseloroh, moga-moga para penjambret mendapatkan hidayah karena telah mengambil sajadahnya..haha
Sampai di Chatuchak sekitar jam 22 lewat, dan mendapati pasar malam yang hanya menjual baju-baju biasa. Yang serba seksi dan mini-mini. Alih-alih ingin mencari suvenir khas Thailand, akhirnya kami malah berputar sebentar dan memutuskan untuk kembali dengan taksi. Chatuchak memang lebih nikmat dinikmati di saat siang hari. Dengan terik matahari yang luar biasa, karena itulah sensasinya.
Kami pulang dengan menaiki taksi, hanya membayar 100 baht untuk 5 orang yang duduk berjejalan dan memakan waktu sekitar 30 menit karena traffic jam yang masih luar biasa. Tiba di residence hampir jam 23.20 malam dan harus segera beristirahat sebelum kembali berubah jadi labu.
Benar-benar sebuah pengalaman berharga dunia malam. Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Buat saya, tetap saja lebih baik tidak berkeliaran di waktu malam. Siapa suruh ya? ..
Ehm, waktunya saya untuk ikut para ABG ke dreamworld nih. Semoga cerita hari ini lebih menyenangkan!

0 komentar:

Posting Komentar