Dunia malam
Yup, sesekali cerita tentang dugem di
Bangkok ya.. Ini pertama kalinya saya bisa keluar residence agak lama
setelah 3 minggu, seringnya sih hanya pergi ke mall dekat kampus.
Karena kebetulan ada training 10 hari di
lokasi yang masih sekomplek yang melibatkan rekan sekantor, saya merasa
lega. Akhirnya ada teman seumuran. Jadwal para trainee itu melingkupi
jalan-jalan sore untuk dinner di mall sekitar kota dan kami para
penghuni residence diijinkan untuk nebeng. Lumayan tidak perlu berdiri
naik bus atau mengeluarkan ekstra untuk taksi. Deuuh.. gaya student
banget ya?
Kebetulan lagi ada seorang partisipan
Thai, pi Tiny yang bersedia menjadi guide sepanjang perjalanan. Jadilah
ia membawa 10 orang rekannya berkeliling kota. Perumpamaannya persis
seperti sedang mengangon bebek.. Bebek berumur tepatnya.
Van yang kami tumpangi hanya mengantar
sampai stasiun BTS Mo Chit, tidak jauh dari Chatuchak. Pi Tiny
mengajarkan kami cara menukar uang, membeli karcis, melewati pintu
masuk, dan lain-lain bagi semua yang belum pernah naik kereta cakep.
Tapi rasanya semua pernah naik meski di negara-negara berbeda. Hehe..
nasib, kasian ya yang ga punya BTS?
Tujuan kali ini adalah berhenti di Siam Paragon, cari dinner, pergi ke Baiyoke, dan yang terakhir ke pasar malam Chatuchak.
Benar ke situ saja?
Drama belum dimulai.
Sesungguhnya pergi berkelompok dengan
karakter berbeda-beda butuh kesabaran dan toleransi luar biasa. Tiba di
Siam Paragon jam 7 malam, kami rumpun Melayu memutuskan untuk shalat
Maghrib di dekat lift sementara yang lain menunggu di luar. Ini memakan
waktu hampir 20 menit. Dilanjutkan dengan menyebrang jembatan dan pi
Tiny menunjukkan spot yang sering dipakai turis untuk mengambil gambar
di MBK.
Sementara partisipan lain jeprat-jepret
sana sini tanpa mengenal waktu, kami menunggu hampir 10 menit padahal
sudah waktunya makan malam. Akhirnya diputuskan, no more photos!
Kami menemukan beberapa kedai makanan
halal di food court lantai 5 Siam Paragon. Pilihan kali ini adalah
Arabic cuisine berupa fried rice with shrimp seharga 12o baht. Setelah
berkeliling, ternyata ada juga kedai makanan Indonesia yang diberi nama
Jimbaran, Bali. Harga menu dimulai dari 120 baht, sementara untuk
minuman rata-rata 80 baht.
Setelah selesai makan malam, ternyata
kami kehilangan dua partisipan dari Timur Tengah. Jujur saya khawatir
pada aki-aki itu, tapi mereka sendiri yang memilih memisahkan diri.
Episode mencari-cari satu sama lain
dimulai. Ketika partisipan A pergi ke toilet dan tidak kembali dalam
5-10 menit, partisipan B menyusul. Tak lama partisipan A kembali,
berganti dengan partisipan B yang tidak ada. Selisipan. Belum lagi
dengan seorang pasrtisipan yang kerap menghilang dengan alasan yang
tidak dimengerti. Kejadian berulang kali ini membuat saya selaku oknum
yang menumpang dalam grup mereka memasang muka manyun. Belum lagi
ditambah dengan acara sok tawar menawar padahal akhirnya tidak
membeli. Jujur, saat pergi berkelompok ini saya paling tidak suka dengan
jam karet dan tidak bertoleransi. Apalagi jika masih ada beberapa
tempat yang harus dikunjungi dan sekarang sudah hampir jam 9 malam.
Dan benar saja, kami masih harus
berkali-kali menaiki tangga untuk menyebrang jalan. Dan lebih takjub
lagi, ketika saya mengetahui bahwa tujuan selanjutnya sesuai dengan
request adalah Patpong. Mau ngapain?
Patpong adalah kawasan wisata malam
daerah Silom yang ramai dikunjungi turis asing. BTS terdekatnya di Sala
Daeng. Sebenarnya hanya lokasi di pinggir jalan yang dipenuhi pedagang
kaki lima. Mereka berjualan pakaian, suvenir, dengan tambahan CD dewasa
dan sex toys. Benar, semuanya digelar begitu saja. Tetapi semakin lama
menyusuri jalanan, tiba-tiba pi Tiny memasuki gang yang agak gelap dan
dipenuhi para calo yang menawarkan sesuatu. Agak ragu saya mengikuti
mereka, tapi mau tetap tinggal di ujung jalanpun rasanya menakutkan. Di
gang tersebut ternyata banyak para turis yang duduk-duduk sambil
minum-minum, persis seperti di daerah Kuta. Saya tahu saya cuma manusia
penuh dosa, tapi saat itu malu sekali ketika saya mengikuti mereka.
Semua mata memandangi kami. Terlebih ketika ada yang bertanya, “what are you looking for, ma’am?”
Nah lho? Ketika mencapai jalan buntu -mungkin hanya sekitar 50 m dari
jalan utama- dan berbalik kembali, saya langsung ngibrit. Teman-teman
tadi menertawakan.
Lanjut di gang no 2, saya memutuskan
untuk menunggu saja. Kali ini insting kepo saya sedikit jalan dan
langsung mencuri dengar. Rupanya para calo tadi menawarkan tiket masuk
pertunjukan dewasa seharga 300 baht untuk sex show selama 30 menit.
Konon yang terkenal adalah Pingpong show dan berbagai show lain, saya
tidak hapal. Tapi saya kurang jelas juga apakah mereka wajib membeli
minuman di pub, dengan harga minimal 100 baht atau tidak. Menurut
teman-teman yang ikut melintasi tiap pub tadi, ketika tirainya sedikit
terbuka terlihat pemandangan di dalamnya yang memuat para wanita cantik
berbikini. Grup kami hanya memutuskan untuk sekedar jalan-jalan dan
ingin tahu ada apa di sana.
Waktu sudah menunjukkan jam 22 malam,
kami menghapus kunjungan ke Baiyoke Tower karena sudah tutup dan
melanjutkan ke pasar malam Chatuchak. Tadinya kami akan menggunakan 2
taksi, tetapi karena sebagian besar belum pernah menaiki tuktuk akhirnya
mereka memilih naik tuktuk seharga 200 baht dari Silom ke Chatuchak.
Tim dibagi dua, tim perempuan dan lelaki dalam tuktuk yang berbeda.
Karena bangku satu tuktuk hanya untuk 3 orang, saya duduk di bawah,
persis di belakang supir.
Lima menit di atas tuktuk, kami
mengeluarkan uang untuk patungan. Pada saat itulah Kak Fiza dari
Malaysia tiba-tiba berteriak dan tarik-tarikan dengan jambret yang
mengendarai motor. Jujur, kami semua kaget setengah mati. Tidak
menyangka. Sepertinya kami memang sudah dikuntit dari semenjak awal.
Saya juga lupa mengingatkan kak Fiza supaya tidak menyimpan tas di
lengan kanan yang pas dengan sisi jalan. Teman saya yang turut membantu
tarik-menarik masih shock, sementara karena posisi saya membelakangi,
saya malah tidak tahu apa-apa. Padahal saat itu saya lengah dan sedang
tidak memegang tas.
Sedikit melegakan, karena untungnya
dompet kak Fiza ada di tangan karena ia tadinya sedang merapikan uang
dalam dompet. Sementara yang diambil adalah tas ransel Hush Puppies
berikut kamera touch screen edisi lama berserta sajadah dan mukena.
Mungkin para penjambret itu menyesal karena hanya mendapat sedikit
barang. Kak Fiza berseloroh, moga-moga para penjambret mendapatkan
hidayah karena telah mengambil sajadahnya..haha
Sampai di Chatuchak sekitar jam 22 lewat,
dan mendapati pasar malam yang hanya menjual baju-baju biasa. Yang
serba seksi dan mini-mini. Alih-alih ingin mencari suvenir khas
Thailand, akhirnya kami malah berputar sebentar dan memutuskan untuk
kembali dengan taksi. Chatuchak memang lebih nikmat dinikmati di saat
siang hari. Dengan terik matahari yang luar biasa, karena itulah
sensasinya.
Kami pulang dengan menaiki taksi, hanya
membayar 100 baht untuk 5 orang yang duduk berjejalan dan memakan waktu
sekitar 30 menit karena traffic jam yang masih luar biasa. Tiba di
residence hampir jam 23.20 malam dan harus segera beristirahat sebelum
kembali berubah jadi labu.
Benar-benar sebuah pengalaman berharga
dunia malam. Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Buat saya, tetap saja
lebih baik tidak berkeliaran di waktu malam. Siapa suruh ya? ..
Ehm, waktunya saya untuk ikut para ABG ke dreamworld nih. Semoga cerita hari ini lebih menyenangkan!